Dr.(HC)
Ir. Soekarno, nama lahir:
Koesno Sosrodihardjo (lahir di Blitar
Jawa Timur,
6 Juni
1901 – meninggal
di Jakarta,
21 Juni
1970 pada umur 69 tahun)
adalah Presiden Indonesia
pertama yang menjabat pada periode 1945–1966.
Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda.
Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep
mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila.Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama
dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945.
Soekarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar
yang kontroversial, yang isinya—berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar
Angkatan Darat—menugaskan Letnan Jenderal Soeharto
untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.
Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto
untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan
mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.
Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan
dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama
dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Nama
Ketika
dilahirkan, Soekarno diberikan nama Koesno Sosrodihardjo oleh
orangtuanya.
Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah
menjadi Soekarno oleh ayahnya.
Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha
yaitu Karna.
Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa
huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan
"su" memiliki arti "baik".
Di
kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya
sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan
ejaan penjajah (Belanda). Ia
tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan
tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia yang tidak boleh diuba
Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di
beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno.
Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika
Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil
Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di
Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah
bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama
Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa
Denmark dan bahasa Spanyol.
Sukarno
menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.
Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama
Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang
melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan
negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Masa kecil dan remaja
Rumah masa kecil Bung
Karno
Soekarno
dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan
ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.
Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan
di Sekolah Dasar
Pribumi di Singaraja,
Bali.
Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden
Soekemi sendiri beragama Islam.
Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno
lahir.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung,
Jawa Timur.
Ia
bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto,
mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.
Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School,
sekolah tempat ia bekerja.
Kemudian pada Juni
1911 Soekarno dipindahkan
ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere
Burger School (HBS).
Pada tahun 1915,
Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke
HBS di Surabaya, Jawa Timur.
Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan
kediamannya.
Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam,
organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus
Salim, dan Abdul Muis.Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro
Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.
Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda
Jawa) pada 1918.
Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia"
yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat
HBS Soerabaja bulan Juli 1921,
bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng
(sekarang ITB)
di Bandung
dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,
setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali
dan tamat pada tahun 1926.
Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei
1926 dan pada Dies Natalis
ke-6 TH Bandung
tanggal 3 Juli
1926 dia diwisuda bersama
delapan belas insinyur lainnya.
Prof. Jacob Clay
selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa
itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa".
Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,
selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus
Ondang.
Saat
di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan
anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.
Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes
Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Sebagai arsitek
Pekerjaan dan Karya di Bidang
Arsitektur
- Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
- Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.[20]
Pengaruh Terhadap Karya Arsitektural
Semasa Menjadi Presiden
Semasa
menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau
dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai
Juli pada tahun 1956
ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat,
dan Swiss.
Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia
secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.
Soekarno membidik Jakarta
sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional
yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang
diharapkan sebagai pusat pemerintahan di masa datang. Beberapa karya
dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa
arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu
beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga
dibuat melalui sayembara
- Masjid Istiqlal 1951
- Monumen Nasional 1960
- Gedung Conefo
- Gedung Sarinah
- Wisma Nusantara
- Hotel Indonesia 1962
- Tugu Selamat Datang
- Monumen Pembebasan Irian Barat
- Patung Dirgantara
- Tahun 1955 Ir. Soekarno menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf
- Rancangan skema Tata Ruang Kota Palangkaraya yang diresmikan pada tahun 1957
Masa pergerakan nasional
Soekarno
untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java
cabang Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi tersebut yang
Jawa-sentris dan hanya memikirkan kebudyaan saja merupakan tantangan
tersendiri. Dalam rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya
Soekarno menggemparkan sidang dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa
ngoko (kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan
menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu
saja, dan bukan dalam bahasa Belanda.
Pada
tahun 1926,
Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil
inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo.
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan
pada tahun 1927.
Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada tanggal 29
Desember 1929
di Yogyakarta dan esoknya dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara
Banceuy. Pada tahun 1930 ia dipindahkan ke Sukamiskin dan pada tahun
itu ia memunculkan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat
(pledoi), hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember
1931.
Pada
bulan Juli 1932,
Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan
dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di
sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya
tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan
Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada
tahun 1938
hingga tahun 1942
Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno
baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang
Soekarno bersama
Fatmawati dan Guntur
Pada
awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan"
keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A
dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang
begitu populer.
Namun
akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memerhatikan dan sekaligus
memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad
Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga
lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai
organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti
Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan lain-lainnya
disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional
bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir
dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang
adalah fasis yang berbahaya.
Presiden
Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja sama dengan Jepang
sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia
aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah
merumuskan Pancasila,
UUD 1945,
dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.
Pada
tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo
mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagoes
Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito.
Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh
Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan
Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu
dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang
oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat
wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa
proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun
keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat
Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang, antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi
Ruang tamu rumah
persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
Soekarno
bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi),
Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang
menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta
mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah
menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus
1945; Soekarno dan Mohammad
Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan
Pembela Tanah Air Peta
Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni,
Wikana,
Singgih
serta Chairul Saleh.
Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman
kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum
tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu
kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah
Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni
dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan,
bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum
muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI
menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus
1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP. Pada tanggal 19
September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah
peristiwa Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan
pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada
saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison,
Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah
mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha
menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan
pasukan NICA
(Belanda)
yang membonceng Sekutu (di bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10
November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby.
Karena
banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan
Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden
dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan
Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala
pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive).
Selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi
semipresidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala
Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu
terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah
bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik
Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski
sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden
Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi
Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada
kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa
Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya
yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan
Setelah
Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden
Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik
Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun
karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan,
maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik
Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai
pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya
kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada
kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos
Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di kalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh
bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung"
membuat Presiden Soekarno kurang memercayai sistem multipartai, bahkan
menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut
turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada
jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober
1952 dan Peristiwa di
kalangan Angkatan Udara.
Soekarno dan John F.
Kennedy
Presiden
Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk
mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal
sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom
waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan
imperialisme
dan kolonialisme,
ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah
peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian
konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz
Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan),
U Nu,
(Birma)
dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non
Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh
kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik
berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah,
yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula,
banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila
ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna
menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan
pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita
Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika
Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung
(RRC).
Kejatuhan
Situasi
politik
Indonesia
menjadi tidak menentu setelah enam jenderal
dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965.
Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi
walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya.
Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu
isinya meminta agar PKI dibubarkan.
Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan
pandangan Nasakom
(Nasionalisme, Agama, Komunisme).
Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam
politik.
Lima
bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang
ditandatangani oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan
Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga
keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.
Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto
yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan
menyatakannya sebagai organisasi terlarang.
Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang
pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan
jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi
presiden apabila presiden berhalangan.
Soekarno
kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap
peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS.
Pidato tersebut berjudul "Nawaksara" dan dibacakan pada 22 Juni
1966.
MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut.
Pidato "Pelengkap Nawaskara" pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari
1967 namun kemudian
ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.
Hingga
akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno
menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana
Merdeka.
Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto
menjadi kepala pemerintahan Indonesia.
Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden
Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto
sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan
umum berikutnya.
Sakit hingga meninggal
Kesehatan
Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus
1965.
Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan
pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan
agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih
pengobatan tradisional.
Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni
1970 di RSPAD (Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta
dengan status sebagai tahanan politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari
Dewi.
Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan
oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim
dokter kepresidenan.
Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh
Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Komunike
medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
- Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
- Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
- Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun
Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu
Tulis, Bogor,
namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa
Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.
Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.
Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan
keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.
Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean
sebagai inspektur upacara.
Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
Peninggalan
Dalam
rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni
2001, maka Kantor Filateli
Jakarta
menerbitkan prangko
"100 Tahun Bung Karno".
Prangko yang diterbitkan merupakan empat buah prangko berlatar belakang bendera
Merah Putih
serta menampilkan gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden
Republik Indonesia.
Prangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno
pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno
ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920-an terpampang di
atasnya. Sementara itu, prangko yang ketiga memiliki nominal Rp900 serta
menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Prangko yang terakhir
memiliki gambar Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp1000. Keempat
prangko tersebut dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set
oleh Perum Peruri.
Selain prangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam
kemasan prangko, album koleksi prangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster
Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.
Prangko
yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada tanggal 19 Juni
2008. Prangko tersebut
menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.
Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan
kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba.
Nama
Soekarno pernah diabadikan sebagai nama sebuah gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan tersebut,
yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno,
didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games
IV tahun 1962
di Jakarta.
Pada masa Orde Baru,
kompleks olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora
Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden Abdurrahman
Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno.
Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung Karno.
Setelah
kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah
Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno
adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun universitas
dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan ini dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ke tiga
Soekarno dan Fatmawati.
Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi
meneruskan pemikiran Bung Karno, Nation and Character Building kepada
mahasiswa-mahasiswanya.
Sementara
itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan
benda-benda seni
maupun nonseni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia.
Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni
1978 oleh delapan
putra-putri Soekarno yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, dan Kartika Sari Dewi Soekarno.
Pada tahun 2003,
Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.
Di stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul "Indonesia
Menggugat" yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto
semasa Soekarno menjadi presiden.
Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cenderamata Soekarno dijual di
stan tersebut.
Di antaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi pidato Soekarno, serta kartu pos Soekarno.
Seseorang
yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan
Soekarno.
Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon
Artileri
Pertahanan Udara Sedang.
Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu
kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi,
Bogor.
Benda-benda tersebut antara lain sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat
yang terdaftar dalam register emas JM London, emas
putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning
dengan tulisan ejaan lama berupa deposito hibah.
Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil) dan Yugoslavia
serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss
dan Bank Netherland.
Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar
yang memastikan keaslian dari emas tersebut.
Penghargaan
Semasa
hidupnya, Soekarno mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa
dari 26 universitas
di dalam dan luar negeri.
Perguruan tinggi dalam negeri yang memberikan gelar kehormatan kepada Soekarno
antara lain Universitas Gajah Mada (19 September
1951), Institut Teknologi Bandung (13 September
1962), Universitas Indonesia (2 Februari 1963), Universitas Hasanuddin (25 April 1963), Institut
Agama Islam Negeri Jakarta (2 Desember 1963), Universitas Padjadjaran (23 Desember
1964), dan Universitas Muhammadiyah (1 Agustus 1965).
Sementara itu, Columbia University (Amerika
Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Rusia) dan Al-Azhar University (Mesir) merupakan beberapa
universitas luar negeri yang menganugerahi Soekarno dengan gelar Doktor Honoris
Causa.
Pada
bulan April
2005, Soekarno yang sudah
meninggal selama 35 tahun mendapatkan penghargaan dari Presiden Afrika
Selatan Thabo Mbeki.
Penghargaan tersebut adalah penghargaan bintang kelas satu The Order of the
Supreme Companions of OR Tambo yang diberikan dalam bentuk medali, pin,
tongkat, dan lencana yang semuanya dilapisi emas.
Soekarno mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai telah mengembangkan
solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju serta telah
menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan penjajahan
dan membebaskan diri dari apartheid.
Acara penyerahan penghargaan tersebut dilaksanakan di Kantor Kepresidenan Union
Buildings di Pretoria
dan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri yang mewakili ayahnya dalam menerima
penghargaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar